Tahlil sebagai penangkal fundamentalis
Tahlil sebagai penangkal fundamentalisme
Di kalangan nahdliyyin, salah satu ritus yang paling populer adalah apa
yang disebut dengan tahlil. Secara harafiah, arti tahlil sebetulnya
sangat sederhana -- membaca la ilaha illa-l-Lah (tiada Tuhan kecuali
Allah). Dalam perkembangannya, apalagi dalam konteks Indonesia, istilah
ini memiliki makna yang tak sederhana lagi. Tahlil menjadi “cultural
marker”, merek/ciri khas budaya.
Bahkan, saya bisa mengatakan
lebih jauh lagi. Tahlil telah menjadi semacam “way of life”, cara hidup,
juga cara berpikir. Tahlil juga membentuk kosmologi, cara pandang
tertentu terhadap kosmos, alam raya, sejarah, masyarakat, dsb.
Dengan kata lain, tahlil telah mengalami metamorfosa dari hal yang amat
sederhana, mambaca la ilaha illa-l-Lah, menjadi sesuatu yang sangat
serius. Bahkan ada yang mau membikin sebuah partai bernama HTI: Hizbut
Tahlil Indonesia. Untuk yang terakhir ini, saya sedang nge-joke saja.
Hehehe…
Dalam catatan ini, saya tak ingin melakukan pembelaan
atas tahlil dari serangan kelompok-kelompok yang anti-tahlil. Sudah
banyak buku mengenai ini ditulis, terutama oleh para kiai NU. Yang akan
saya lakukan di sini adalah semacam telaah fenomenologis atas tahlil,
agar kelihatan lebih keren sedikit.
Saya sendiri adalah pengamal
dan pelaku tahlil. Tetapi dalam tulisan ini, saya akan mencoba
melakukan tindakan “penjarakan-diri”, dan menjadi pengamat tahlil. Saya
akan mencoba memahami ritus sosial ini secara berjarak, dengan
menggunakan pendekatan fenomenologi.
Yang saya maksud dengan
pendekatan fenomenologi di sini adalah: melihat fenomena, masuk ke
dalamnya, dan mencoba memahami bagaimana fenomena itu bekerja dari
dalam, seraya kita tetap bersikap sebagai pengamat yang berjarak.
Seorang fenomenolog, seberapa dekatpun berusaha “memeluk” obyek
amatannya, dia tetaplah (atau seharusnya tetap menjadi) orang luar. Dia
bukan orang dalam. Dia pendatang dalam pentas sosial yang sedang ia
amati.
Oke, saya akan mulai melakukan “fenomenologisasi” atas tahlil. Semoga berhasil. Bismillah.
Bagi saya, unsur yang paling penting dalam tahlil bukan pelafalan
kalimat syahadat, atau makanan yang dihidangkan kepada para jamaah yang
sedang melakukan ritus ini, ataupun kegiatan “jagongan” (ngobrol) yang
biasa terjadi setelah ritus ini usai. Semua itu tentu merupakan
elemen-elemen yang penting dalam tahlil, terutama dalam kerangka
merekatkan hubungan-hubungan sosial.
Bagi saya, elemen yang
paling penting dalam tahlil adalah memori, ingatan. Tahlil adalah ritus
sosial yang fondasi utamanya adalah “mengingat”. Ingatan ini terarah
kepada hal yang terjadi pada masa yang telah lewat. Ingatan itu
ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal.
Dengan kata
lain, tahlil pada dasarnya adalah “memorizing the absent”, mengingat
sesuatu yang tak ada pada saat ini. Atau, lebih abstrak lagi, dia adalah
“memorizing the absence”, mengingat ketiadaan. Mengirimkan doa dalam
ritus tahlil kepada orang-orang yang sudah meninggal memiliki makna yang
penting. Ia bukan sekedar berbuat baik kepada orang-orang yang sudah
mati, tetapi mengingat sesuatu yang terjadi pada masa lampau.
Ingatan ini bak sebuah lingkaran yang bergerak terus-menerus, makin
melebar, seperti riak air. Ingatan itu bermula dari keluarga dekat.
Karena itu, doa tahlil dihadiahkan kepada orang-orang dekat yang telah
wafat. Tetapi doa tahlil juga mencakup sesuatu yang lebih besar dari
itu: yakni doa buat orang-orang lain dari masa lampau yang jauh -- dari
generasi kakek-nenek, mundur ke belakang terus, hingga ke generasi para
sahabat dan Nabi.
Doa tahlil juga ditujukan kepada para wali,
para orang saleh, para pejuang yang telah meninggal di masa lampau yang
jauh sekali.
Dalam konstruksi seperti ini, tahlil adalah semacam
imajinasi tentang masa lampau, bayangan tentang sejarah yang menjulur
jauh ke belakang. Ada rasa kesejarahan dalam tindakan tahlil. “Sense of
historicity”. Ada rasa bahwa kita yang hidup di masa kini bukan sekedar
insiden kecil yang terisolasi dan sendirian. Kita adalah bagian dari
sebuah silsilah panjang yang menjangkau ke masa silam yang jauh.
Karena itu, bagi saya, merawat kuburan bukanlah tindakan “klenik”
(meski, jika salah niat, bisa juga terjatuh ke sana!), apalagi “syirik.
Dia memiliki makna yang sangat penting: yaitu usaha untuk merawat
ingatan tentang masa lampau, menjaga silsilah, mempertahankan rasa
sejarah.
Tak heran, jika kelompok tertentu dalam Islam yang
anti-tahlil, yaitu kaum Wahabi, memiliki kecenderungan anti-sejarah.
Tindakan kaum Wahabi yang membenci kuburan ternyata tidak berhenti di
sana saja, tetapi juga berakibat sangat fatal – menghancurkan
situs-situs sejarah. Penghancuran tempat-tempat bersejarah di Saudi
Arabia saat ini, termasuk situs-situs yang berkenaan dengan Nabi dan
keluarganya, anda percaya atau tidak, berasal dari hal yang sederhana:
keyakinan kaum Wahabi yang anti-tahlil, anti-ziarah kubur, dan
anti-kuburan.
Ketika kaum Taliban di Afghanistan menghancurkan
patung Buddha yang sangat bersejarah di Bamiyan –tindakan yang
menimbulkan kemarahan dunia,-- kita bisa mendeteksi pengaruh Wahabi di
sana. Kaum Taliban memang pengikut paham Wahabi yang anti-kuburan.
Karena itu, tak heran, jika mereka melakukan tindakan ikonoklasme
seperti itu. Ikonoklasme maksudnya: menghancurkan patung-patung.
Ketika ISIS di Irak dan Syria melakukan serangkaian penghancuran atas
situs-situs bersejarah di sana, sebetulnya mereka hanya mengikuti saja
teladan yang dilakukan oleh kaum Wahabi sebelumnya. Kelompok Muslim
pengamal tahlil sudah pasti tak akan melakukan tindakan-tindakan bodoh
semacam ini.
Saya, di sini, tidak sedang membangun semacam
aksioma matematik yang bersifat pasti: bahwa yang anti-tahlil dengan
sendirinya anti situs-situs sejarah. Bukan. Yang mau saya katakan adalah
ada kecenderungan kuat dalam kaum Wahabi yang anti-tahlil itu kepada
historisida -- pemusnahan sejarah. Sebab menghargai situs-situs sejarah
dianggap identik dengan kegiatan mempersekutukan Tuhan, syirik.
Penghargaan, menurut mereka, hanya layak ditujukan kepada Allah saja.
Bukan kepada obyek lain.
Dengan pembacaan semacam ini, sebetulnya
apa yang kita kira adalah tindakan sederhana, yaitu mendoakan orang
mati melalui tahlil, ternyata memiliki implikasi sosial dan
“civilizational” yang sangat serius.
Tahlil, dengan kata lain,
bukan hal yang main-main. Dia adalah tindakan ritual yang membentuk
sikap-sikap sosial yang sangat kita butuhkan saat ini, di zaman ketika
fundamentalisme agama meruyak di dunia Islam. Sikap-sikap itu mencakup
banyak hal: menghargai sejarah, menghargai kebudayaan lokal, menghargai
kesenian, tak gampang mengkafirkan, tak gampang menuduh syirik,
toleransi, dsb.
Mungkin tahlil adalah salah satu obat penangkal
fundamentalisme. Mungkin. Sebab, saya jarang melihat pengamal tahlil
yang ikut dalam gerakan-gerakan keagamaan fundamentalistik.
Jadi, mari bertahlil!***
Penulis adalah pengamal dan pengamat tahlil.
23 juli 2016
No comments:
Post a Comment